Oleh: Bayu, M.Pd
Perkembangan teknologi digital telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara siswa belajar, berinteraksi, dan memahami dunia. Saat ini, anak-anak tumbuh bersama layar dan algoritma yang mengarahkan apa yang mereka lihat, baca, dan pelajari setiap hari.
Di satu sisi, teknologi memberi peluang luas untuk kreativitas dan akses pengetahuan. Namun di sisi lain, ia menghadirkan tantangan besar dalam pembentukan karakter. Pada titik ini, pendidikan karakter tidak lagi bisa dilakukan dengan pendekatan lama. Guru, orang tua, dan institusi pendidikan harus menyesuaikan langkah dengan cepat agar tidak tertinggal oleh arus zaman.
Salah satu tantangan utama era digital adalah perubahan pola interaksi sosial siswa. Banyak anak kini lebih nyaman bercakap lewat gawai daripada berkomunikasi langsung. Empati, kemampuan mendengar, dan keterampilan sosial perlahan bergeser jika tidak diarahkan dengan baik. Ketergantungan pada media sosial membuat sebagian siswa mudah terpengaruh oleh validasi digital, seperti jumlah “likes” dan komentar. Pembentukan karakter pun harus mampu mengembalikan fokus siswa pada nilai-nilai kemanusiaan yang esensial, bukan sekadar pengakuan virtual.
Algoritma hari ini memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk cara pikir generasi muda. Konten yang muncul pada layar siswa sering kali disesuaikan untuk menarik perhatian, bukan membangun nalar kritis. Tanpa edukasi literasi digital yang kuat, siswa berpotensi mudah terjebak dalam informasi palsu, konten negatif, atau budaya instan. Pendidik harus hadir sebagai pembimbing yang mampu mengarahkan siswa agar tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pengguna yang cerdas dan beretika.
Di sekolah, digitalisasi memang menawarkan banyak kemudahan: materi pembelajaran bisa diakses kapan saja, evaluasi berbasis aplikasi lebih praktis, dan diskusi kelas lebih interaktif. Namun nilai integritas, kejujuran, dan disiplin tetap perlu dijaga. Misalnya, kemudahan mencari jawaban di internet dapat mengikis perilaku jujur bila siswa tidak dibimbing. Guru perlu merancang strategi belajar yang menantang siswa untuk berpikir kritis, bukan sekadar menyalin informasi dari layar.
Selain itu, fenomena "kecanduan gawai" menjadi tantangan tersendiri. Siswa sering kali sulit fokus, cepat bosan, dan mudah terdistraksi oleh notifikasi. Di sinilah pendidik dan orang tua harus bekerja sama menetapkan batasan sehat dalam penggunaan teknologi. Pembentukan karakter membutuhkan keseimbangan antara dunia digital dan pengalaman nyata, seperti olahraga, kegiatan seni, diskusi, dan interaksi langsung yang membangun kepribadian.
Peran guru dalam era digital semakin kompleks. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pemberi materi pelajaran, tetapi juga fasilitator nilai, pengarah perilaku, dan teladan dalam penggunaan teknologi. Guru yang adaptif mampu memadukan pendekatan modern tanpa meninggalkan nilai-nilai inti yang harus ditanamkan kepada siswa. Pelatihan kompetensi guru dalam literasi digital dan pedagogi karakter sangat dibutuhkan, terutama untuk menghadapi tantangan zaman yang serba cepat berubah.
Tidak kalah penting, peran keluarga sebagai pondasi karakter utama tidak boleh pudar. Orang tua perlu hadir sebagai role model dalam penggunaan gawai, cara berkomunikasi, dan pengambilan keputusan. Pendidikan karakter tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah; ia harus dibangun secara konsisten di rumah. Sinergi antara keluarga dan sekolah menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan layar dan algoritma.
Sekolah juga bisa mengintegrasikan nilai karakter dalam setiap mata pelajaran. Kolaborasi, tanggung jawab, empati, dan kemandirian bisa dibentuk melalui proyek digital, kegiatan kolaboratif daring, atau diskusi reflektif. Tujuannya sederhana: teknologi bukan untuk menggantikan pembentukan karakter, tetapi menjadi sarana yang memperkuatnya.
Tantangan pembentukan karakter di era digital sebenarnya juga menyimpan peluang besar. Teknologi memungkinkan siswa belajar melalui simulasi, storytelling digital, dan konten edukatif yang inspiratif. Guru dan sekolah dapat memanfaatkan platform digital untuk mengajarkan nilai kepedulian sosial, keberagaman, kepemimpinan, dan etika digital. Ketika teknologi digunakan dengan tepat, ia dapat menjadi alat yang kuat dalam pembentukan karakter positif.
Pada akhirnya, membentuk karakter siswa di era layar dan algoritma bukanlah upaya melawan teknologi, melainkan mengarahkan penggunaannya agar sejalan dengan nilai moral dan kemanusiaan. Siswa perlu dibimbing menjadi generasi yang bukan hanya cerdas secara digital, tetapi juga tangguh, bertanggung jawab, dan berintegritas. Dunia akan terus berubah, tetapi nilai-nilai karakter yang kuat akan selalu menjadi bekal terbaik bagi mereka dalam menghadapi masa depan.
Penulis adalah Dosen Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)
