Opini | Fenomena Pernikahan Di Era Disrupsi Dari Divorce Trend Ke Marriage is Scary

Editor: Redaksi

 

Dr Asman, M. Ag


Oleh Dr. Asman, M. Ag  (Fakar Hukum Keluarga Islam)

Di Era disrupsi saat ini, peningkatan digitalisasi, peningkatan jumlah media sosial, dan ketidakpastian ekonomi telah mengubah cara orang memandang institusi pernikahan. Selama awal tahun 2020, terlihat tren perceraian dan angka perceraian yang tinggi, yang menjadi perhatian publik. Data Badilag menunjukkan bahwa ratusan ribu kasus perceraian diajukan ke pengadilan agama pada tahun 2023. 

(Badan Peradilan Agama) Selain itu, data BPS menunjukkan rincian jumlah perceraian menurut provinsi pada tahun 2023, menunjukkan bahwa perceraian adalah masalah struktural dan bukan fenomena terisolasi. 

Untuk tahun 2024, Peradilan Agama menangani 446.359 kasus perceraian di seluruh negeri, menurut data resmi. Dari 394.608 kasus perceraian, cerai gugat istri mencapai 308.956, jauh lebih banyak daripada cerai talak suami (85.652 kasus). 

Menurut Direktori Putusan Mahkamah Agung, data perceraian Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan 58.1267 putusan cerai di bawah kategori perdata agama yang diputus pada tahun tersebut. (http://putusan3.mahkamahagung.go.id).

Tidak hanya meningkatnya jumlah perceraian, tetapi juga munculnya ketakutan untuk menikah, yang disebut sebagai “Marriage is Scary” di media sosial. TikTok dan platform lain adalah tempat trend ini terutama menyebar dari tahun 2024 hingga 2025. 

Di sana, banyak video curahan hati, pengalaman traumatis melihat perceraian orangtua, dan kisah publik orang-orang yang menghancurkan rumah tangganya mendorong generasi muda, terutama Gen Z, untuk menolak untuk menikah, mengangkat bagaimana tren ini viral dan memengaruhi persepsi kaum muda terhadap pernikahan. 

Contoh nyata (2023–2025) menunjukkan bahwa ada dua sisi masalah. 

Pertama, secara kuantitatif, statistik dan laporan pengadilan menunjukkan angka perceraian tetap tinggi pada tahun 2023 dan 2024. Efek sosial dan ekonomi dari perceraian ini kemudian menjadi subjek diskusi publik. 

Kedua, studi dan analisis isi media sosial yang dilakukan secara kualitatif dari akhir 2024 hingga 2025 menemukan pola naratif ketakutan pernikahan. Pola ini menemukan bahwa faktor-faktor seperti tekanan gender, trauma keluarga, ketidakpastian keuangan, dan paparan cerita publik figur adalah penyebab utama perasaan " scary". Di luar dunia akademis, banyak berita perceraian publik figure sepanjang tahun 2024–2025 dilaporkan oleh media populer, semakin memperkuat kepercayaan masyarakat bahwa pernikahan adalah berisiko tinggi. 

Ini berdasarkan laporan dari media hiburan (Popmama.com) mengompilasi daftar perceraian publik figur selama periode ini.

Mengapa ini terjadi? Ada beberapa mekanisme yang saling memperkuat: (1) algoritma media sosial memperbesar cerita dramatis sehingga kesan kegagalan rumah tangga menjadi dominan; (2) tekanan ekonomi ketidakmampuan membeli rumah atau stabilitas pekerjaan menjadikan pernikahan terasa beban; (3) pergeseran nilai generasi, banyak anak muda menempatkan kesehatan mental, kebebasan, dan karier lebih tinggi daripada komitmen tradisional; (4) lemahnya pendidikan pra-nikah dan rendahnya akses konseling berkualitas. Penelitian tentang konseling pranikah di Indonesia menunjukkan bahwa praktik bimbingan pranikah berkembang dan, bila dirancang baik, dapat meningkatkan kesiapan psikologis pasangan yang berarti ada potensi pencegahan bila layanan ini diperluas dan ditingkatkan mutu pelaksanaannya. 

Solusi praktis menghadapi divorce trend ke marriage is scary dari skala kebijakan, lembaga, dan individu:

Perkuat layanan pranikah dan pasca-nikah, wajibkan atau fasilitasi modul pranikah yang lebih mendalam (manajemen konflik, keuangan keluarga, parenting, dan digital-ethics). 

Bukti akademik menunjukkan konseling pranikah yang terstruktur dapat menurunkan risiko konflik di awal pernikahan. 

Literasi digital emosional, program di sekolah dan komunitas untuk mengajarkan cara mengkonsumsi konten media sosial kritis agar narasi sensasional tidak otomatis membentuk keputusan hidup fundamental.

Dukungan ekonomi bagi pasangan muda, kebijakan perumahan terjangkau, keringanan pajak atau insentif bagi keluarga muda, dan akses perbankan/keuangan yang memudahkan perencanaan rumah tangga.

Konseling pasangan pasca-nikah yang mudah diakses, layanan psikologis atau mediasi keluarga yang murah dan mudah dijangkau (online atau offline), serta kampanye anti-stigma untuk mendorong pasangan mencari bantuan dini saat konflik muncul.

Narasi publik yang seimbang: media dan influencer harus juga mengangkat kisah pernikahan sehat, strategi bertahan, dan peran konseling bukan hanya sensasional cerita perceraian.

Pelibatan agama dan komunitas: lembaga keagamaan dan komunitas lokal bisa mengintegrasikan pendidikan pernikahan yang modern dan berbasis bukti ke dalam pembinaan calon pengantin.

Dengan demikian fenomena dari divorce trend ke “Marriage is Scary” adalah angka perceraian dan persepsi publik yang dipengaruhi oleh media dan kondisi sosial-ekonomi adalah contoh dampak disrupsi. 

Supaya pernikahan kembali dianggap sebagai pilihan yang siap untuk dilakukan, diperlukan tindakan multi-sektor, perbaikan layanan pranikah dan pasca-nikah, dukungan ekonomi, dan perubahan narasi publik.


Penulis adalah Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) Fakultas Hukum Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)

Share:
Komentar

Berita Terkini