![]() |
| Dr Asman, M. Ag |
(Bidang Keahlian Hukum Keluarga Islam)
Perceraian sering dipahami sebagai jalan terakhir ketika konflik rumah tangga tak lagi menemukan solusi. Namun, di balik keputusan untuk berpisah, tersembunyi realitas yang jauh lebih kompleks, perempuan hampir selalu menjadi kelompok yang paling terdampak.
Dalam banyak kasus, perceraian tidak hanya memutus hubungan emosional, tetapi juga menyeret perempuan ke dalam lingkaran ketidaksetaraan ekonomi, sosial, dan psikologis yang telah lama bersemi dalam struktur masyarakat Indonesia. Dalam Pasal 116 KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang dirinci dalam Pasal 39 ayat (2) dan penjelasan serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur alasan perceraian meliputi suami melanggar taklik talak dan salah satu pihak berpindah agama (murtad) yang menyebabkan ketidakrukunan.
Selain itu, ada berbagai alasan lain yang disebutkan dalam pasal ini, seperti salah satu pihak berzina, mabuk, berjudi, meninggalkan pasangan selama dua tahun, mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih, melakukan kekerasan berat, atau mengalami cacat/penyakit berat yang membuatnya tidak dapat menjalankan kewajibannya. Ketidaksetaraan ini bukan terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari norma budaya patriarki, pembagian peran gender yang timpang, serta minimnya perlindungan sosial terhadap perempuan pasca perceraian.
Marginalisasi gender dalam perceraian adalah kondisi di mana perempuan secara sistematis dirugikan, didiskriminasi, atau kehilangan hak-haknya dibandingkan laki-laki dalam proses perceraian, sering kali karena budaya patriarki dan ketidaksetaraan gender.
Berikut mengapa perempuan paling terdampak pasca perceraian:
Pertama, beban ekonomi yang ditanggung perempuan setelah bercerai masih menjadi persoalan serius. Secara struktural, perempuan lebih sering masuk dalam kategori pekerjaan informal dan tidak memiliki penghasilan tetap.
Ketika perceraian terjadi, perempuan yang selama ini bergantung secara finansial kepada pasangan tiba-tiba harus mandiri tanpa persiapan memadai. Memang, hukum Indonesia mengatur kewajiban mantan suami memberikan nafkah anak dan dalam kondisi tertentu nafkah iddah atau mut’ah.
Namun realitas di lapangan jauh lebih getir banyak lelaki yang mengabaikan kewajiban tersebut, dan pengawasan terhadap pemenuhan nafkah pasca perceraian seringkali lemah. Akibatnya, perempuan harus menanggung biaya hidup dirinya dan anak-anak dengan sumber daya yang minim.
Ketimpangan ekonomi yang sudah ada selama pernikahan kian membesar setelah ikatan itu putus. Tidak hanya itu, akses perempuan terhadap pekerjaan layak juga sering menjadi kendala. Perempuan yang menikah muda atau keluar dari pekerjaan demi mengurus rumah tangga menghadapi kesulitan besar saat harus kembali ke dunia kerja. Kurangnya pengalaman, keterampilan yang stagnan, dan stigma sosial menjadi penghalang.
Dalam banyak kasus, perempuan pasca perceraian sering menerima pekerjaan dengan upah yang rendah demi bertahan hidup. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi cerminan kegagalan negara dan masyarakat dalam memberikan ruang yang adil bagi perempuan untuk mengembangkan diri.
Kedua, perceraian masih meninggalkan beban sosial yang tidak kecil. Meskipun zaman telah berubah, stigma terhadap janda masih kuat di masyarakat Indonesia. Perempuan yang bercerai kerap dipandang sebagai pihak yang “gagal” mempertahankan rumah tangga, bahkan ketika penyebab perceraian berasal dari kekerasan atau pengkhianatan yang dilakukan suami. Stigma ini berdampak langsung pada kondisi psikologis perempuan. Banyak perempuan yang merasa dihakimi, terisolasi, dan kehilangan jejaring sosial yang selama ini menjadi penopang emosional. Tidak jarang, keluarga atau lingkungan justru memberikan tekanan tambahan dengan komentar menyakitkan atau prasangka negatif.
Stigma ini juga berdampak pada proses mereka untuk membangun kehidupan yang baru. Misalnya, perempuan yang ingin kembali menikah seringkali mengalami hambatan karena dianggap sebagai beban atau memiliki “rekam jejak buruk”. Padahal, perceraian seharusnya dipahami sebagai keputusan berani untuk keluar dari situasi yang tidak sehat. Ketika masyarakat masih memandang perempuan yang bercerai secara negatif, maka ketidaksetaraan gender terus dilanggengkan.
Ketiga, perempuan sering menanggung beban pengasuhan anak secara penuh. Dalam banyak kasus, hak asuh diberikan kepada ibu, terutama untuk anak di bawah usia tertentu. Di satu sisi, keputusan ini memperlihatkan peran tradisional bahwa ibu lebih cakap mengasuh anak. Namun di sisi lain, tanggung jawab ini dapat menjadi beban berat jika tidak diiringi dengan dukungan ekonomi yang memadai.
Perempuan tidak hanya harus bekerja untuk menghidupi diri sendiri, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan anak-anak secara finansial, emosional, dan pendidikan. Sementara itu, keterlibatan laki-laki dalam pengasuhan anak sering kali menurun drastis pasca perceraian. Banyak ayah yang berjarak, baik secara emosional maupun finansial, sehingga perempuan menjalani peran ganda tanpa dukungan. Kondisi ini memperkuat ketimpangan gender dan berpotensi memengaruhi masa depan anak-anak, terutama dalam aspek kesejahteraan pendidikan dan psikologis mereka. Lagi-lagi, perempuan memikul beban paling berat akibat sistem yang tidak berpihak.
Keempat, aspek hukum juga masih menunjukkan ketimpangan yang merugikan perempuan. Meski Undang-Undang Perkawinan telah direvisi untuk memberikan perlindungan lebih baik bagi perempuan, praktik di lapangan tidak selalu berjalan ideal. Banyak perempuan yang tidak memahami hak-haknya, termasuk nafkah iddah, mut’ah, atau pembagian harta bersama (gono-gini). Kurangnya literasi hukum ini membuat mereka mudah dirugikan, terutama jika proses perceraian dilakukan tanpa pendampingan hukum yang memadai.
Di beberapa daerah, perempuan bahkan terpaksa menerima kesepakatan yang merugikan karena tekanan sosial atau ketidaktahuan.
Selain itu, birokrasi yang rumit dan biaya proses hukum turut menyulitkan perempuan, terutama yang berasal dari latar ekonomi lemah. Ketika akses terhadap keadilan menjadi mahal, perempuan kembali berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Persoalan ini bukan hanya isu gender, tetapi juga refleksi dari ketidakadilan struktural yang lebih luas.
Namun, menyalahkan perceraian sebagai penyebab utama kesulitan perempuan adalah penyederhanaan. Akar masalah sebenarnya adalah ketidaksetaraan yang telah tertanam jauh sebelum perceraian terjadi. Dalam budaya patriarki, perempuan sering diposisikan sebagai pihak yang harus mengalah, berkorban, dan mengurus rumah tangga. Pengorbanan ini dihargai selama pernikahan, tetapi tidak diakui ketika hubungan berakhir. Ketika perceraian terjadi, semua beban yang selama ini disembunyikan kembali jatuh ke pundak perempuan.
Bagaimana cara mengurangi dampak ketidaksetaraan ini?
Mengurangi dampak ketidaksetaraan dalam perceraian terhadap perempuan dapat dilakukan melalui penguatan akses bantuan hukum, peningkatan literasi hukum, perlindungan hak nafkah dan harta bersama, pemberdayaan ekonomi perempuan, serta penegakan hukum yang adil dan sensitif gender untuk memastikan perempuan tidak dirugikan. Berikut uraiannya:
Negara perlu memperkuat instrumen perlindungan sosial bagi perempuan pasca perceraian. Penegakan kewajiban nafkah harus lebih ketat, misalnya dengan mekanisme pemotongan langsung dari penghasilan mantan suami atau sanksi tegas bagi mereka yang lalai.
Akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan layak harus diperluas, termasuk melalui program pelatihan keterampilan dan bantuan modal usaha.
Masyarakat harus menghapus stigma terhadap perempuan yang bercerai dan memahami bahwa perceraian bukan kegagalan, tetapi langkah menuju keselamatan dan martabat.
Perempuan perlu diberikan akses luas terhadap layanan hukum, pendampingan psikologis, dan kelompok dukungan.
Pada akhirnya, perceraian hanyalah salah satu titik dalam perjalanan kehidupan seorang perempuan. Yang membuat mereka paling terdampak bukanlah perceraian itu sendiri, tetapi sistem yang tidak adil yang mengelilinginya. Jika kita ingin membangun masyarakat yang lebih setara, maka kita harus mulai dari sini, memastikan bahwa perempuan memiliki ruang yang aman, adil, dan bermartabat untuk melanjutkan hidup baik di dalam maupun di luar perkawinan.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)
asmanarwan@gmail.com
