![]() |
| Dr Asman, M. Ag |
Oleh : Dr. Asman, M. Ag (Bidang Keahlian Hukum Keluarga Islam)
Pernikahan paksa menjadi salah satu masalah sosial yang terus muncul di berbagai wilayah di Indonesia, baik dipicu oleh faktor ekonomi, tradisi, maupun hubungan kekuasaan dalam keluarga. Praktik ini umumnya merugikan perempuan, meskipun ada beberapa keadaan yang juga dialami oleh pria. Dari segi teori dan praktik hukum, pernikahan paksa telah diteliti oleh banyak akademisi.
Sebagai contoh, Siti Musdah Mulia (2005) menekankan bahwa paksaan dalam pernikahan adalah bentuk kekerasan struktural yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam. Amin Abdullah (2010) menambahkan bahwa prinsip kerelaan (ridha) dalam akad nikah adalah hal mutlak dalam syariah.
Dari sudut pandang hukum nasional, Nur Rofi’ah (2018) menyoroti bahwa pernikahan yang dilakukan tanpa persetujuan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang memiliki implikasi hukum baik pidana maupun perdata.
Dalam pandangan hukum Islam, asas kebebasan dalam memilih pasangan sangat ditekankan. Ini berlandaskan pada hadis Nabi yang menyebutkan bahwa seorang wanita tidak dapat dinikahkan tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu.
Hadis ini dicatat oleh Bukhari dan Muslim dan menjadi landasan utama bahwa kerelaan adalah syarat sahnya pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan yang dilakukan tanpa keinginan yang tulus merupakan suatu pelanggaran terhadap hak yang bertentangan dengan maqashid syariah.
Para cendekiawan masa kini menegaskan bahwa tekanan dalam pernikahan tidak bisa dibenarkan meskipun ada mazhab tertentu yang mengenal konsep wali mujbir. Penelitian yang dilakukan oleh Khairuddin (2014) menggambarkan bahwa sebagian besar cendekiawan modern dari mazhab Syafi’i telah menghindari praktik wali mujbir karena dianggap bertentangan dengan prinsip perlindungan jiwa (hifz al-nafs) dan martabat (hifz al-‘irdh).
Secara mazhab, Aliran Hanafi dengan jelas menolak hak wali untuk memaksa wanita dewasa untuk menikah tanpa persetujuannya. Pandangan ini sangat dihargai oleh cendekiawan Muslim kontemporer karena dianggap paling sesuai dengan semangat keadilan.
Aliran Maliki dan Hambali juga memberikan perlindungan yang signifikan bagi wanita dewasa untuk menolak tekanan dari wali. Sementara itu, Aliran Syafi'i memang memberikan kesempatan bagi wali mujbir dalam konteks sejarah, namun situasi tersebut jauh berbeda dengan kondisi sosial yang ada saat ini. Oleh karena itu, para ulama Syafi’iyah modern, seperti Wahidudin Khan (1998) dan Yusuf al-Qaradawi (2001), telah menginterpretasikan kembali konsep wali mujbir sehingga menjadi tidak lagi relevan jika dilaksanakan tanpa persetujuan dari pihak perempuan. Mereka menekankan bahwa keuntungan bagi keluarga harus menjadi tujuan utama, dan bahwa pernikahan yang dilakukan secara paksa justru merusak tujuan luhur tersebut.
Dalam bidang hukum keluarga di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto UU No. 16 Tahun 2019 secara jelas menyatakan bahwa pernikahan harus didasarkan pada persetujuan dari kedua calon pengantin, seperti yang diatur dalam pasal 6 ayat (1).
Ketentuan ini menjadi landasan hukum yang menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan secara paksa, baik karena tekanan ekonomi, kebiasaan, maupun ancaman, merupakan pelanggaran hukum.
Pasal 22 dari UU Perkawinan juga menegaskan bahwa pernikahan yang dilakukan di bawah ancaman bisa dibatalkan. Oleh karena itu, negara menyediakan sarana bagi individu yang menjadi korban pernikahan paksa untuk mendapatkan keadilan melalui proses pembatalan pernikahan di Pengadilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang digunakan sebagai acuan dalam praktik peradilan agama di Indonesia, dengan jelas menetapkan hal tersebut dalam Pasal 16 dan Pasal 17, yang mengharuskan adanya persetujuan dari kedua calon mempelai. Penjelasan mengenai persetujuan yang dapat dinyatakan secara terbuka maupun secara diam-diam tidak secara langsung mengizinkan adanya kawin paksa.
Penelitian yang dilakukan oleh Hasbi Umar (2019) menekankan bahwa dalam konteks KHI, keadaan "diam" hanya dianggap sah jika benar-benar tanpa tekanan. Ini berarti bahwa ketidakaktifan dalam menyatakan persetujuan tidak dapat dianggap sebagai bentuk persetujuan jika ada unsur intimidasi, ancaman, atau tekanan sosial dari pihak keluarga. Putusan-putusan dari pengadilan agama di berbagai wilayah juga menunjukkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan jika terbukti terdapat elemen paksaan dalam akad yang dilakukan.
Dari sudut pandang hak asasi manusia, pernikahan paksa adalah suatu pelanggaran terhadap hak untuk memilih pasangan hidup, yang merupakan hak dasar setiap individu. Sebuah studi oleh Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa pernikahan paksa yang terjadi pada anak perempuan sering kali berakibat pada kekerasan dalam rumah tangga, perceraian yang terjadi lebih awal, serta peningkatan kerentanan ekonomi.
Informasi ini memperkuat pendapat bahwa pernikahan paksa bukan hanya sekadar masalah hukum dalam keluarga, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan perlindungan anak.
Jika dilihat dari perspektif maqashid syariah, praktik perkawinan paksa bertentangan dengan lima tujuan utama syariah, yang meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Paksaan yang menimbulkan trauma serta ketidakbahagiaan secara nyata merusak perlindungan terhadap jiwa.
Dampaknya terhadap kondisi mental korban juga bertentangan dengan perlindungan akal. Selain itu, perkawinan paksa sering kali memicu konflik dalam keluarga yang berpotensi merusak keturunan. Dari sudut pandang ini, menjadi jelas bahwa perkawinan paksa tidak sesuai dengan tujuan-tujuan moral serta hukum dalam Islam. Sementara itu, dari sudut pandang sosial, praktik kawin paksa sering kali dipertahankan dengan alasan tradisi.
Namun, tradisi yang bertentangan dengan hukum Islam serta peraturan nasional tidak dapat dianggap sebagai dasar yang sah. Prinsip al-‘adah muhakkamah atau adat hanya dapat dijadikan sebagai hukum jika adat tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Dalam konteks Indonesia, sejumlah studi, seperti yang dilakukan oleh Margaretha Lestari (2016) dan Yohana Pratiwi (2017), mengungkapkan bahwa beberapa komunitas masih mempertahankan kawin paksa demi menjaga kehormatan keluarga. Sayangnya, praktik ini sering kali mem perpetuasi kekerasan dan mengikis hak individu.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan paksa tidak memiliki dasar yang sah dalam hukum Islam maupun hukum nasional. Islam menekankan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan suci yang harus dilakukan dengan kesedian, kasih sayang, dan tanggung jawab.
Selain itu, negara juga menganggap persetujuan dari kedua calon mempelai sebagai dasar yang sah untuk perkawinan. Dengan demikian, pernikahan paksa perlu dipandang sebagai sebuah pelanggaran hukum serta etika kemanusiaan yang harus dicegah.
Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan terhadap pernikahan paksa perlu diperkuat melalui pendidikan keluarga, perbaikan kebijakan adat yang bersifat diskriminatif, peningkatan kapasitas petugas desa dan pemimpin agama, serta penguatan posisi perempuan agar dapat menolak paksaan.
Tokoh agama dan hakim di pengadilan agama juga harus terus mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya persetujuan sebagai elemen fundamental yang tidak boleh diabaikan. Kesadaran kolektif ini diharapkan dapat memastikan bahwa pernikahan terjadi berdasarkan cinta dan kedewasaan, bukan karena paksaan atau tekanan.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)
asmanarwan@gmail.com
