![]() |
| Dr Asman, M. Ag |
Oleh : Dr. Asman, M. Ag (Bidang Keahlian Hukum Keluarga Islam)
Tidak dapat dihindari bagi pasangan suami istri bahwa konflik dalam rumah tangga bisa terjadi. Ketegangan antara pasangan sering kali disebabkan oleh perbedaan dalam latar belakang, karakter, ekspektasi, dan tekanan sosial dan ekonomi.
Konflik, bagaimanapun, tidak selalu berkorelasi negatif. Apabila konflik dikelola secara konstruktif dan berdasarkan nilai-nilai agama, itu bisa menjadi cara untuk meningkatkan hubungan. Nilai-nilai agama, terutama Islam, memiliki peran strategis sebagai pedoman moral dan spiritual dalam menangani konflik rumah tangga secara berkeadilan dan bermartabat.
Penjelasan dalam al-Qur’an, perkawinan dianggap sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kokoh), sebagaimana dinyatakan dalam QS. An-Nisa ayat 21, yang berarti bahwa hubungan suami istri adalah ikatan moral dan spiritual yang menuntut kesabaran, tanggung jawab, dan komitmen yang berkelanjutan. Ayat-ayat dari Al-Qur'an dalam Surah An-Nisa dan Ar-Rum memberikan dasar untuk penyelesaian konflik rumah tangga yang berkeadilan, berjenjang, dan berfokus pada perdamaian.
Surah An-Nisa ayat 34 menyatakan bahwa suami bertanggung jawab untuk menjaga keluarganya dengan sikap bijak dan tindakan koreksi yang bertahap ketika terjadi nusyuz. Ini dimulai dengan nasihat, upaya emosional, hingga tindakan terakhir yang ditekankan oleh para ulama adalah simbolik dan tidak menyakiti, serta tetap dalam batas ketakwaan. Konflik rumah tangga dapat diselesaikan secara kolektif demi keadilan dan kemaslahatan, karena Ayat 35 memperluas penyelesaian konflik ke ranah sosial melalui mekanisme hakam dari kedua keluarga.
Selain itu, meskipun perdamaian membutuhkan pengorbanan dan kelapangan hati, An-Nisa ayat 128 menyatakan bahwa perdamaian selalu lebih penting daripada perpisahan. Keseluruhan prinsip ini berakar pada dasar teologis dari ayat 21 Surah Ar-Rum, yang menempatkan mawaddah dan rahmah sebagai dasar sakinah dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, setiap kali ada konflik, seseorang harus kembali ke tujuan utama pernikahan, yaitu ketenangan, kasih sayang, dan kelangsungan hubungan yang bermartabat. Oleh karena itu, konflik yang muncul tidak seharusnya diselesaikan dengan emosi yang merugikan, tetapi sebaliknya dengan pendekatan musyawarah, empati, dan kesadaran akan nila agama.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rohman (2019), perbedaan pola asuh, ketimpangan peran gender, dan komunikasi yang tidak efektif adalah penyebab umum konflik rumah tangga. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sari dan Hidayat (2021), yang menemukan bahwa kegagalan pasangan untuk menangani konflik dengan cara yang sehat seringkali menyebabkan kekerasan verbal, emosional, atau bahkan perceraian.
Namun, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pasangan yang memiliki keyakinan religius kuat cenderung lebih mampu mengatasi perselisihan dan mencapai kesepakatan yang damai.
Nilai agama membantu orang menahan amarah dan mengutamakan akhlak mulia. “Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, melainkan yang mampu menahan diri ketika marah,” kata Rasulullah SAW (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini sangat relevan dalam hal konflik rumah tangga, di mana manajemen emosi sangat penting untuk hubungan yang sukses. Dalam kenyataannya, pasangan yang menggunakan agama sebagai referensi cenderung menghindari menggunakan kata-kata kasar, kekerasan, atau sikap saling menyalahkan.
Pendekatan musyawarah (syura) adalah prinsip penting dalam Islam yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan perselisihan rumah tangga. Ayat 38 surah Asy-Syura menunjukkan betapa pentingnya musyawarah saat membuat keputusan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2020) menemukan bahwa pasangan yang memiliki kecenderungan untuk menjadi otoriter memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang memiliki kecenderungan untuk berbicara bebas dan berkolaborasi. Sehingga konflik tidak berkembang menjadi permusuhan, musyawarah memungkinkan setiap pihak merasa didengar dan dihargai.
Prinsip keadilan dan keseimbangan sangat penting dalam Islam selain musyawarah. Ketika salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil dalam hal pembagian peran, nafkah, maupun pengambilan keputusan, konflik sering kali memburuk. Faktor utama yang menyebabkan konflik berkepanjangan dalam rumah tangga adalah ketimpangan dalam hubungan kuasa, menurut penelitian Aziz dan Nurhayati (2022). Menurut prinsip agama dalam konteks ini, suami dan istri adalah mitra sejajar (zawjain), bukan hubungan dominasi satu pihak. Selain itu, prinsip kesabaran (sabr) dan pemaafan (afw) sangat penting dalam mengelola konflik.
Islam tidak menuntut manusia untuk sempurna; sebaliknya, dia mendorong orang untuk saling memaafkan dan memperbaiki diri. Studi Lestari (2018) menemukan bahwa pasangan yang mampu memaafkan kesalahan satu sama lain lebih tahan lama dalam perkawinan mereka. Pemaafan adalah upaya untuk menghilangkan dendam yang merusak relasi, bukan membenarkan kesalahan.
Akibat pengaruh media sosial, tuntutan ekonomi, dan peran gender yang berubah, tantangan rumah tangga di masyarakat modern semakin kompleks. Oleh karena itu, prinsip agama harus diubah secara kontekstual agar tetap relevan. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian mubadalah, pendekatan keagamaan yang dialogis dan berfokus pada keadilan gender dapat menjadi alternatif untuk menangani konflik rumah tangga secara konstruktif. Studi Kodir (2020) menemukan bahwa sikap mubadalah dapat mengurangi konflik karena menekankan kesalingan dan tanggung jawab bersama suami dan istri.
Pada akhirnya, mengelola konflik rumah tangga secara konstruktif memerlukan praktik spiritual dan psikologis. Konflik agama dapat meningkatkan iman, akhlak, dan kedewasaan emosional pasangan.
Rumah tangga yang sehat adalah rumah tangga yang mampu menggunakan konflik untuk mencapai keharmonisan dan keberkahan. Oleh karena itu, penerapan nilai-nilai agama dalam pengendalian konflik rumah tangga relevan secara normatif dan terbukti secara empiris oleh banyak penelitian.
Di tengah dinamika kehidupan modern, prinsip kesabaran, musyawarah, keadilan, dan pemaafan sangat penting untuk membangun relasi rumah tangga yang kokoh, harmonis, dan berkelanjutan.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas (UNISSAS)
Email : asmara@gmail.com
